Jakarta, Â (7/7/2017) â" Rekam jejak PT Freeport Indonesia (FI) yang sudah beroperasi hampir 50 tahun terungkap fakta-fakta tidak taat terhadap kontrak karya maupun terhadap Undang-Undang Minerba nomor 4 tahun 2009. Demikian disampaikan oleh Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman pada Kamis (6/7/2017).
âSeharusnya, hal diatas menjadi pedoman penting bagi pemerintah Indonesia dalam bernegoisasi dalam menentukan sikapnya apakah perlu atau tidaknya diperpanjang izinnya,â kata Yusri Usman saat diwawancarai mengenai isu perpanjangan PT Freeport via Whatshaap.
Menurut pengamat migas ini, karena kalau PT Freeport Indonesia taat terhadap Kontak Karya (KK), seharusnya proses divestasi 51 persen sudah selesai tuntas pada akhir Desember tahun 2011. Dan kelonggaran soal pembagunan smelter pun sudah pernah diberikan kepada PT FI pada Juli 2014 dalam bentuk MOU dan menempatkan â jaminan kesungguhan â USD 120 juta, walaupun dengan berbagai alasan âcashflowâ PT FI hanya menyetorkan USD 15 juta.
âFaktanya, coba lihat sudah awal tahun 2017 informasi yang diperolah dari BKPM Jawa Timur bahwa PT FI belum menyelesai proses izin membangun smelternya,â sesalnya.
Kemudian, lanjut Yusri, Surat Dirjen Minerba tanggal 31 Agustus 2015 kepada PT FI menyimpulkan bahwa PT FI âtidak beritikad baik â terhadap isi pasal UU Minerba setelah melalui proses negoisasi beberapa bulan. Sudah hampir 4 tahun belakangan PT FI tidak menyetorkan deviden atas saham pemerintah 9 , 36 persen kepada Pemerintah.
âAneh dan lucu sikap pemerintah yang pada April 2017 telah memberikan IUPK. Sementara berdasarkan Peraturan Presiden nomor 1 tahun 2017 dan Permen ESDM nomor 5, 6 dan 18 tahun 2017, bahwa PT FI boleh mengeksport konsentrat, dan jelas pelanggaran terhadap UU Minerba nomor 4 tahun 2009. Karena tidak dikenal adanya IUPK sementara, artinya pelangaran demi pelanggaran terhadap UU Minerba yang telah memberikan izin operasi kepada PT FI dengan berlandasan KK dan Izin Usaha Pertambangan Khusus Sementara ( IUPK ). Mungkin didunia hanya bisa terjadi di Indonesia saja, bahwa perusahaan bisa beroperasi berlandaskan 2 UU, yaitu UU Pokok pertambangan nomor 1 tahun 1967 yang melahirkan Kontrak Karya (KK) dan UU Minerba nomor 4 tahun 2009 yang melahirkan IUPK Sementara,â paparnya.
Lalu, tambah Yusri, seharusnya pemerintah lebih jeli melihat itikad tidak baik PT Freeport Indonesia ini sejak tahun 2016 sudah seharusnya menugaskan segera konsorsium BUMN Tambang membangun smelter untuk mengolah konsentrat dari PT FI dan PT Amman Mineral Sumbawa dan lain-lainnya daripada menyiapan dana membeli sahamnya . Sehingga, kepentingan penerimaan negara dari proses peningkatan nilai tambah mineral mentah bagi negara menjadi aman sesuai pesan Undang-Undang .
âAkan tetapi kebijakan pemerintah terhadap PT FI akan dibaca publik telah merusak program hilirisasasi mineral mentah yang sudah dicanangkan Pemerintah sendiri sejak tahun 2009,âtambahnya.
Selain itu, tambah Yusri, kalau melihat fakta dari informasi BKPM Jawa Timur bulan April 2017 bahwa PT FI belum mengurus izin dan keterangan anggota DPR dgn Dirut PT Petrokimia Gresik desember 2016 bahwa PT FI belum membayar sewa lahan 80 ha untuk lokasi membangun smelter , maka perlu dicurigai bahwa prosentase kemajuan pembangunan smelter yang selama ini diberikan bobot prosentase sebagai dasar penentuan tarif telah terjadi penyimpangan. Sehingga prosentase kemajuan pembangunan smelter yang selama ini diberikan bobot prosentase sebagai dasar penentuan tarif bea keluar ekspor konsentrat adalah diduga tidak sesuai dengan realisasinya di lapangan , bisa jadi tarif bea keluar ekspor konsentrat selama ini menjadi potensi kerugian negara.
âSeharusnya BPK RI dan KPK menyidik proses kemajuan pembangunan smelter terkait adanya potensi pelanggaran tarif bea ekspor konsentrat kepada PT FI,â tutupnya.